3  UTS-3 My Stories For You

3.1 Tentang Jatuh dan Belajar

Malam itu, saya menatap layar cukup lama. Tidak ada notifikasi baru, tidak ada pesan, hanya pantulan wajah yang terlihat lelah dan sedikit kosong. Beberapa jam sebelumnya, pengumuman kompetisi nasional yang saya ikuti baru saja keluar. Saya tidak menang. Bahkan, saya tidak masuk daftar penghargaan tambahan yang saya harapkan. Padahal, saya sudah begitu dekat—begitu yakin—bahwa kali ini mungkin akan berbeda.

Beberapa minggu terakhir saya menghabiskan waktu tanpa banyak tidur. Setiap malam saya memperbaiki hal kecil, menulis ulang, mencoba mengubah sedikit bagian agar lebih baik. Saya pikir itu cukup. Saya pikir kerja keras bisa menutup semua kekurangan. Tapi ternyata tidak. Hasil akhirnya membuat semua usaha itu terasa tidak berarti. Untuk beberapa hari, saya tidak ingin membuka laptop sama sekali. Saya bahkan sempat berpikir untuk berhenti ikut lomba selamanya.

Perasaan itu pelan-pelan berubah menjadi sesuatu yang lebih berat—semacam keyakinan pahit bahwa mungkin saya memang tidak berbakat. Mungkin saya hanya orang biasa yang berusaha keras di tempat yang salah. Saya mulai membandingkan diri dengan orang lain, dengan mereka yang tampak lebih mudah berhasil, dan semakin saya membandingkan, semakin saya merasa kecil. “Kalau hasilnya begini, apa gunanya mencoba lagi?” pikiran itu terus berputar di kepala selama berhari-hari.

Namun hari-hari terus berjalan, dan di antara rasa kecewa itu, saya mulai berpikir ulang. Saya membaca ulang catatan proses yang saya buat, melihat ide awal yang saya tulis di minggu pertama, dan di sana saya menemukan sesuatu yang aneh: saya tersenyum. Saya menyadari betapa saya menikmati proses itu—bahkan ketika hasil akhirnya tidak sesuai harapan. Saya menikmati brainstorming dengan teman-teman, menikmati saat ide mulai berbentuk, dan menikmati perasaan hidup karena sedang membuat sesuatu yang benar-benar saya pedulikan.

Di situ saya mulai paham, mungkin poinnya bukan tentang menang atau kalah. Mungkin justru tentang bagaimana kita belajar mengenal diri sendiri lewat hal yang tidak berjalan sempurna. Saya belajar bahwa rasa gagal itu bagian dari perjalanan, bukan tandanya berhenti. Saya belajar bahwa tidak ada yang sia-sia selama kita berani mencobanya dengan sepenuh hati. Dan yang paling penting, saya belajar bahwa saya masih ingin mencoba lagi—meskipun takut, meskipun ragu, meskipun hasilnya mungkin belum berubah.

Sekarang, kalau saya menengok ke belakang, saya tidak lagi melihat kegagalan. Saya melihat seorang diri yang sedang tumbuh, yang sedang belajar menerima bahwa tidak semua hal harus berjalan mulus agar bisa bermakna. Saya melihat seseorang yang berani kecewa tapi juga berani berharap lagi. Dan saya rasa, di situlah letak kekuatannya—bukan di kemenangan, tapi di keberanian untuk terus melangkah meskipun sempat terjatuh.


3.2 Refleksi: Dari Diri Sendiri ke Orang Lain

Ketika saya menulis kembali cerita ini, saya menyadari sesuatu tentang komunikasi antar manusia: kejujuran tentang perjuangan pribadi ternyata bisa menjadi jembatan yang kuat antara satu orang dengan yang lain. Sering kali kita hanya menunjukkan sisi terbaik dari diri kita, padahal sisi yang rapuh dan tidak sempurna justru yang membuat kita benar-benar bisa terhubung.

Dalam konteks komunikasi interpersonal, momen seperti ini—saat seseorang berani membuka diri tanpa topeng—menciptakan ruang aman bagi orang lain untuk berkata, “Aku juga pernah merasa seperti itu.” Dari sana, percakapan berubah menjadi hubungan. Kejujuran mengundang empati, dan empati menumbuhkan keberanian untuk saling memahami.

Itulah alasan mengapa saya akhirnya memilih untuk menulis kisah ini apa adanya. Karena terkadang, dengan berbagi cerita tentang jatuh dan belajar, kita tidak hanya menenangkan diri sendiri, tapi juga memberi kekuatan kepada orang lain. Mungkin cerita ini sederhana, tapi jika ada satu orang yang merasa sedikit lebih berani setelah membacanya, maka saya tahu kegagalan itu tidak sia-sia.

Dan mungkin, itu sudah cukup.